Ta Lasa: Raja Poso yang tidak pilih Kristen atau Islam


Raja Poso, Ta Lasa
Tidak banyak orang yang mengetahui tentang tokoh yang satu ini. Tapi tokoh ini sangat berpengaruh dalam pengembangan agama di wilayah Sulawesi Selatan. Ta Lasa, adalah seorang pemimpin atau seorang yang mempunyai kedudukan seperti seorang Raja di Poso. La Tasa ini hingga akhir hayatnya, dikenal tidak memeluk agama Kristen atau Islam. Meskipun semasa hidupnya, ia banyak berperan dalam membantu penyebaran agama Kristen di Poso bersama para misionaris. Ia diketahui tetap menganut kepercayaan leluhurnya, atau biasa disebut agama suku (mo Lamoa).

Dua orang misionaris yang paling akrab dengannya adalah Kruyt dan Adriani. Sepasang suami isteri berdarah Belanda ini telah tinggal bersamanya selama kurang lebih 30 tahun. Bahkan, tiga dari lima orang anak Talasa diberinama oleh kedua misionaris tersebut. Mereka yang diberinama adalah Yuliana, Damayanti dan Sintamane. Bukan tanpa alasan pemberian nama tersebut. Yuliana, adalah untuk mengingat salah seorang putri Ratu Wilhelmina (Belanda) bernama Yuliana (1905). Sementara Damayanti dan Sintamani diambil, dari motologi Hindu.
Nama Talasa sendiri sebenarnya bukan  nama asli (nama pemberian sejak lahir).  Ada dua suku kata yang menyatu membentuk nama tersebut, yakni Ta Lasa. Seperti adatnya orang Poso (To Poso), Ta merupakan akronim dari Tama atau paman. Dengan begitu, maka sesungguhnya Ta Lasa berarti panggilan sebagai “pamannya” Lasa.
Sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Poso, bahwa jika seseorang telah dewasa, sudah menikah dan punya anak maka tidak boleh dipanggil dengan nama kecilnya (nama asli). Namanya secara otomatis berubah, dengan dilekatkan nama anaknya, di tambah suku kata Ta di awal. Misalnya Olo (nama kecil), kalau sudah menikah dan punya anak bernama Enge, maka namanya akan berubah Papa Enge. Dan untuk adik Olo yang laki-laki dan belum menikah, akan berubah juga namanya menjadi Ta Enge. (Pamannya Enge).
Sebenarnya, pemberian panggilan Ta yang dipadu dengan mama keponakan ini tidak diharuskan. Hanya sebagai penghormatan saja. Tradisi ini juga berlaku pada masyarakat Kaili yang bermukim di wilayah Parigi. Dalam masyarakat Poso, perubahan nama panggilan ini disebut sebagai “pompaindo”, yang dapat diartikan sebagai “julukan atau alias.
Ketika ditelusuri dari mana nama Talasa, mulai dari sanak keluarga dekatnya seperti rumpun keluarga Tadjongga, Ule, Tabalu, Kaumba, Banumbu, Danda, Melempo, tidak diketemukan orang yang bernama Lasa. Dan akhirnya nama Lasa menjadi misterius. Hanya ada satu informasi yang diperoleh dari “Tama Meli”, orang yang sejak kecil hidup bersama Talasa.
Dari sinilah nama yang dianggap misterius itu terungkap. Menurut Tama Meli, Lasa adalah nama seekor anjing kesayangan Talasa. Ketika Talasa murka dan membunuh isteri pertamanya, Lasa (anjing kesayangannya) turut dibunuh juga. Sebagai bukti, kuburan berbentuk timbunan batu dari isteri Talasa dan Lasa, masih bisa diketemukan di puncak Gunung Lebanu, Desa Watuawu. Nah dari sinilah kemudian muncul semacam dugaan, yang dikuatkan dengan tradisi penamaan tadi. Dan karena saat itu beliau belum punya anak, maka untuk ‘pompaindo’ diberikanlah nama Tama i Lasa atau Ta Lasa.
Setelah terus didalami lebih jauh berdasarkan keterangan Tama Meli yang ditulis oleh Kruyt dan Adriani, ‘nDUWA’–lah yang merupakan nama asli Talasa. Dan sebenarnya, Ta Lasa masih mempunyai beberapa nama ‘pompaindo’ yang lain, seperti Ta Langkai Motopi (selalu memakai sarung), Ta Wo’o Manu (karena senang makan kepala ayam), dan Ta Tali Welo karena ketika itu, hanya dia yang boleh menggunakan ikat kepala (siga) berwarna merah.
Ta Lasa bersama keluarganya
Dari buku yang ditulis Adriani yang berjudul TA LASA, eentegenhanger van Papa I Woente (Den Haag 1913) diperoleh informasi bagaimana sosok Ta Lasa di mata Adriani. Buku ini diawali dengan perjumpaan mereka untuk pertama kali di sekitar muara Sungai Poso (Bonesompe sekarang) dan pertemuan selanjutnya di Watuawu, Mara’ayo, Kaligoa, Untu Tomasa, Pandiri. Selanjutnya mereka saling bersahabat, juga dengan Kruyt. Tapi dalam persahabatan yang begitu lama, mengapa Kruyt dan Adriani tidak berhasil “menyakinkan” Talasa untuk masuk Nasrani (Masehi) atau Kristen, walau seorang Kobosenya di Poso Pebato, Papa I Wunte dengan kelompoknya telah masuk Kristen. Menurut Adriani, Talasa adalah seorang keras kepala, konsisten, bijak dan cerdik serta tidak peminum alkohol.
Ada beberapa alasan yang diketahui keluarga mengapa Talasa, sampai akhir hayatnya tahun 1947 tidak bisa di Kristenkan oleh tenaga misionaris Belanda dan tetap bertahan dengan pemahaman agama sukunya. Ada beberapa anekdot cerita diskusi antara Talasa dengan Kruyt dan Adriani:
1. Merasa sebagai Mokole Bangke Poso, tidak selayaknya menganut salah satu dari agama yang diperkenalkan. Islam dan Kristen. Alasan seperti disampaikan oleh Talasa kepada Kruyt kurang lebih sebagai berikut : “ Ane yaku mo Nasarani, wembe’imo dapogaulaku pai wa’a ja’i anu mo Isilamu (kaum Muslim). Owi yunuku Tu’a Eda (Alamri, salah satu tokoh Musim yang berasal dari Arab), napokau se’e yaku da mo Isilamu “. Yaku se’i mokole to Poso gala to Nasarani pai to Isilamu “.( Jika saya menjadi Kristen, bagaimana hubungan saya dengan kerabat yang beragama Islam. Dulu Tuan Eda Alamri, juga menyuruh saya untuk masuk Islam. Saya ini raja Poso untuk kaum Kristen dan yang Islam). Dua dari tiga istri Talasa adalah penganut Islam.
2. Merasa keyakinan agama sukunya relatif lebih baik. “…Kompania (pemerintah kolonial Belanda) mamperapi soma danda pawanguni “tarunggu” (tutupan – penjara), kuwaimo tanaku se’e. Pasipeole ncema anu re’e ri tarunggu silau, podo ndibangini pai to Nasarani pai Isilamu, bere’e kami anu ntoya molamoa……. Wembei dandi panto’o, mo Nasarani se’e poengko katuwu ainya dakadago ?”. ( pemerintah kolonial meminta tanah halaman kepada saya untuk tempat membangun penjara, tanah itu sudah saya berikan. Sekarang coba perhatikan, siapa saja penghuni penjara itu, hanya berisi orang-orang Kristen dan Islam, tidak ada orang-orang yang masih menyembah berhala, Bagaimana, kamu akan jelaskan bahwa menjadi Kristen itu membuat kelakuan dan prilaku hidup akan menjadi lebih baik ?).
3.Ketika anak sulung Talasa meninggal dan dikuburkan di Sawidago – Tentena (?), penguburannya dilakukan secara Kristen dan dipimpin oleh Kruyt. Dalam khotbahnya Kruyt memberi pemahaman secara iman Kristiani dengan mengatakan bahwa anak yang meninggal ini adalah pemberian dan berasal dari TUHAN, karena itu TUHAN berhak dan berkuasa untuk mengambilnya kembali. Talasa tidak bisa menerima pemahaman ini, “…..Pu’e anu ndipayomba bemadago, nja anu roo’mo nawai, naperapi natima muni….., Ada mami to Poso, sako ndanda to’o-to’o njaa anu ro’omo kuwaika tau ntaninya , bemaya. Pagonya wo’u ndaperapi muni “.( Tuhan yang kalian sembah tidak baik, apa-apa yang sudah dia berikan diminta dan di ambil kembali. Adat kami orang Poso, sedangkan untuk mengatakan apa yang saya telah berikan kepada orang lain, tidak boleh. Apalagi untuk memintanya kembali “).
Dan masih banyak lagi anekdot antara Talasa dengan Adriani dan Kruyt.
Walau tidak pernah menjadi Kristen, Adriani dalam bukunya mengatakan bahwa, tanpa kerjasama dengan Talasa, maka penginjilan di Tana Poso tidak akan terjadi seperti sekarang ini.
Sekedar untuk diketahui bahwa kata-kata yang tertulis di batu nisan kuburan Adriani di Poso, adalah kata-kata perpisahan Talasa kepada Adriani, ketika Adriani datang memberitahu bahwa beberapa hari lagi dia akan kembali ke Negeri Belanda. Saat itu Talasa mengatakan kira-kira begini “Kau sudah mempersatukan orang-orang di tanah Poso, karenanya kau akan tetap menjadi bagian dari tanah ini “. Dan Adriani betul-betul menjadi bagian dari TANA POSO.
sumber:

No comments:

Post a Comment